PERFORMANS
REPRODUKSI TERNAK KERBAU LUMPUR
(Bubalus bubalis) DI KECAMATAN LOLI
KABUPATEN
SUMBA BARAT
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada Program Studi
Peternakan Fakultas Peternakan
Universitas Nusa Cendana
OLEH
NIMROD N. S. WUTA
0
8 0 5 0 1 2 7 8 8
JURUSAN
PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
NUSA CENDANA
KUPANG
2013
PERFORMANS
REPRODUKSI TERNAK KERBAU LUMPUR
(Bubalus bubalis) DI KECAMATAN LOLI
KABUPATEN
SUMBA BARAT
SKRIPSI
Diajukan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada
Program Studi Ilmu Peternakan
Fakultas
Peternakan Universitas Nusa Cendana
OLEH
NIMROD N. S. WUTA
0
8 0 5 0 1 2 7 8 8
JURUSAN
PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
NUSA CENDANA
KUPANG
2013
PERFORMANS
REPRODUKSI TERNAK KERBAU LUMPUR
(Bubalus bubalis) DI KECAMATAN LOLI
KABUPATEN
SUMBA BARAT
OLEH
NIMROD N. S. WUTA
0
8 0 5 0 1 2 7 8 8
Menyetujui :
Komisi Pembimbing
Pembimbing Utama
|
Pembimbing Anggota
|
Ir. A.Marawali, M.Si
NIP. 1960041119890031001
|
Ir.Kirenius Uly, MP
NIP. 196610141993031002
|
Kupang, Juli 2013
PERFORMANS
REPRODUKSI TERNAK KERBAU LUMPUR
(Bubalus bubalis) DI KECAMATAN LOLI
KABUPATEN
SUMBA BARAT
OLEH
NIMROD N. S. WUTA
0
8 0 5 0 1 2 7 8 8
Skripsi
ini telah Disidangkan di Hadapan
Komisi
Ujian Lisan :
Tim
Penguji Skripsi
(Ketua)
Ir. A.Marawali,
M.Si
NIP. 1960041119890031001
(Anggota
I)
Ir.Kirenius
Uly, MP
|
(Anggota II)
Dr. Ir.W.M
Nalley,MS
|
NIP. 196610141993031002
|
NIP: 19600825 1985 03 2 003
|
Mengesahkan
Ketua
Jurusan
Produksi Ternak
Ir. F. M. S
Telupere, MP.Ph.D
NIP. 1963
01918 1987 121 001
|
Dekan
Fakultas
Peternakan
Ir. Agustinus
A. Konda Malik, MS
NIP. 19610821 198803 1 001
|
Tanggal Lulus, 2013
MOTTO
Orang yang sukses bukan tidak perna gagal,tapi Ia bangkit dari kegagalan untuk terus mencoba.
PERSEMBAHAN
Dengan penuh kerendahan hati penulis
mempersembahkan skripsi ini kepada yang tercinta:
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Pembangunan
sub sektor peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian
khususnya dan pembangunan nasional umumnya yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Selama ini ternak sapi merupakan
andalan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia,
namun kenyataannya Indonesia masih terus mengimpor ternak sapi bakalan dari
luar negeri dan daging guna mencukupi kebutuhan daging dalam negeri.
Guna
mencukupi kebutuhan daging dalam negeri, maka perlu upaya diversifikasi usaha
dibidang peternakan. Ternak kerbau khususnya kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan salah jenis
ternak yang sangat potensial untuk dipelihara dan dimanfaatkan sebagai upaya
strategis mencukupi kebutuhan daging dalam negeri. Daging kerbau memiliki
kandungan protein sebesar 20,20% sedangkan daging sapi 19,20% (Hattu,1986).
Agar ternak kerbau lumpur dapat
memberikan kontribusi yang optimal terhadap upaya pemenuhan kebutuhan daging
dalam negeri, maka perlu pemahaman yang komprehensif terhadap berbagai aspek
yang berkaitan dengan manajemen pemeliharaan ternak tersebut. Tinggi rendahnya
efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh angka kebuntingan,
interval kelahiran, jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali, service per conception dan angka
kelahiran.
Secara
umum performans reproduksi mempunyai peranan yang sangat penting terhadap
perfomans produksi ternak. Apabila performans reproduksi tidak efisien maka
akan menyebabkan kerugian ekonomis yang sangat besar terhadap suatu usaha
peternakan.
Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu daerah pengembangan kerbau
lumpur karena wilayahnya potensial untuk peternakan kerbau, hal ini terlihat
dari populasinya yang cukup tinggi yaitu 18.966 ekor pada umumya dan 2.896 ekor di Kecamatan Loli pada khususnya.
Adapun manfaat ternak kerbau di Sumba khususnya di Sumba Barat adalah
sebagai tabungan yang dapat dijual dengan harga yang cukup tinggi, penghasil
daging untuk kebutuhan protein hewani,
dan untuk kebutuhan sosial budaya terutama kebutuhan upacara adat (upacara
kematian, dan mas kawin/belis).
Dalam dekade terakhir
disinyalir terjadi penurunan populasi ternak kerbau di Kabupaten Sumba Barat
yang antara lain disebabkan oleh tingginya angka pemotongan terutama pada upacara
kematian, rendahnya angka kelahiran, tingginya angka kematian, interval
kelahiran yang panjang,pertambahan bobot badan yang rendah terutama pada sistim
pemeliharaan yang ekstensif. Rendahnya produktifitas ternak kerbau di NTT
ditengarai merupakan akumulasi dari berbagai faktor seperti kondisi iklim NTT
yang didominasi oleh musim kemarau,sistim pemeliharaan yang masih ekstensif
tradisional,penyakit hewan yang belum dikendalikan, pemanfaatan sumber daya
pakan yang belum optimal terutama limbah hasil pertanian dan kelimpahan rumput
alam pada musim hujan.
Untuk dapat
meningkatkan produktivitas ternak kerbau gambaran mengenai performans
reproduksinya sangat penting diketahui
sehingga dapat dipakai tolak ukur dalam upaya pengembangannya. Namun
demikan gambaran performans reproduksi kerbau lumpur khususnya di Kabupaten
Sumba Barat dirasakan masih
berkurang.
Sehubungan dengan permasalahan
tersebut di atas maka dilakukan penelitian dengan judul : “PERFORMANS REPRODUKSI TERNAK KERBAU LUMPUR DI KECAMATAN LOLI KABUPATEN
SUMBA BARAT”.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui performans reproduksi ternak kerbau lumpur di Kecamatan
Loli Kabupaten Sumba Barat yang meliputi angka kelahiran, angka kematian,
interval kelahiran dan jarak waktu antara beranak sampai bunting kembali.
Di
harapkan penelitian ini berguna bagi:
1. Pemerintah Daerah sebagai bahan masukan yang
dapat dipakai dalam mengambil dan menentukan kebijakan untuk pengembangan
peternak kerbau lumpur di Kecamatan Loli pada khususnya dan Kabupaten Sumba
Barat pada umumnya.
2. Petani peternak sebagai tambahan informasi
dalam mengembangkan ternak kerbau lumpur.
3. Pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang Ilmu Reproduksi Ternak Kerbau.
4. Menghasilkan
deskripsi beberapa aspek dari populasi dan memerlukan informasi dari subjek
yang di pelajari.
5. Mencari
informasi faktual secara mendetail yang sedang menggejala dalam bidng ilmu
reproduksi ternak kerbau lumpur di Kecamatan Loli Kabupaten Sumba Barat
6. Mengidentifikasi
masalah-masalah dalam bidang ilmu reproduksi ternak kerbau lumpur Kecamatan
Loli Kabupaten Sumba Barat, dan
7. Mengetahui
hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi sasaran penelitian dalam memecahkan masalah.
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjaun Umum
Kerbau adalah anggota Ordo
Artiodactylo, sub ordo ruminansia atau hewan pemamabiak familia Bovidae yang
terdiri dari dua tipe, yaitu tipe kerja (Swamp buffalo) yang Indonesia di kenal
dengan kerbau lumpur atau kubangan (Nenot’ Ek, 1989), didasarkan atas sifat
biologisnya yang suka mandi atau berkubang di lumpur dan tipe perah (River buffalo) atau yang lebih
di kenal dengan kerbau sungai karena lebih senang berendam di air yang jernih
(Toelihere, 1993).
Hal prinsip yang membedakan kedua tipe tersebut adalah berdasarkan jumlah kromosom, dimana jumlah
kromosom kerbau lumpur sebanyak 48 buah sedangkan kerbau sungai sebanyak 50
buah ( Mac Gregor,1939 dikutip Hovius et
al.,1988).
Dalam penyebarannya kerbau lumpur lebih banyak di jumpai di Asia
Tenggara dan Asia Timur sedangkan kerbau
sungai lebih banyak di India, Pakistan dan sekitarnya ( Murti dan Ciptadi, 1987).
Fungsi Ternak Kerbau
Ternak kerbau di Indonesia
mempunyai nilai yang erat hubungannya dengan nilai sosial dan nilai ekonomi (Siregar, 1971) sedangkan
Robinson (1977) menambahkan satu nilai lagi untuk aspek
tersebut yaitu nilai kerbau
lumpur sebagai hiburan.
Siregar (1987) menyatakan bahwa nilai sosial dari kerbau dapat dilihat dari dua aspek seperti adat dan
keagamaan dalam upacara adat pada umumnya kerbau mendapat nilai yang tinggi dibandingkan dengan
ternak lainnya di Indonesia. Toelihere
(1993b) kerbau mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi karena ia sangat di
sukai,misalnya: seekor “Tedong Bonga” atau kerbau belang di Sulawesi Selatan
dapat mencapai nilai sepuluh kali lebih mahal dari kerbau biasa.Dari
segi ekonomi ternyata nilai kerbau dalam masyarakat melalui tenaga kerja, penghasil
daging, pupuk, kulit dan susu. Lubis (1963) menyatakan bahwa ternak kerbau sudah lama diternakkan dan
dimanfaatkan sebagai tenaga kerja, penghasil
daging dan susu dengan nilai gizi yang cukup tinggi. Didaerh persawahan Jawa
dan Madura peranan ternak kerbau sebagai tenaga kerja mencapai 87,2%, sementara
di seluruh Indonesia adalah 80,49% (Toelihere, 1993b).
Di Nusa Tenggara Timur, ternak kerbau merupakan salah satu jenis ternak
yang memilik peranan penting dalam kehidupan masyarakat antara lain sebagai
sumber tenaga kerja, sumber protein hewani, sumber protein pendapatan, dan
untuk kepentingan adat istiadat (Sobang, 2010). Pada tahun 2009 ,populasi
ternak kerbau di NTT mencapai 185.436 ekor dengan sebaran tertinggi berada di
pulau Sumba, diikuti pulau Flores, Rote Ndao, Timor, dan Sabu ( NTT dalam angka
2010 ).
Data FAO (1969 ) yang dikutip
Pasaribu ( 1980 ) menyatakan efisiensi kerja dari ternak kerbau tergantung pada
berat badan dan kondisi pekerjaannya. Suatu areal sawah seluas 1.600 m2 dapat dibajak oleh seekor kerbau
dalam waktu 16-18 jam, kerbau bekerja dalam waktu 5 jam sehari dan
beristirahat dalam waktu siang. Kapasitas kerja seekor kerbau dengan berat badan 400-900 kg dengan
kecepatan 0.5-0.9 m/detik , identik dengan tenaga kuda.
Ginting (1977) menyatakan bahwa
memperkerjakan seekor kerbau sebaiknya
dimulai pukul 06.00-18.00. Dengan cara ini kapasitas kerja sepasang kerbau
dapat mencapai 6,5 hari kerja untuk tiap hektar sawah atau 10 hari untuk satu hektar
tanah darat. Dikatakan bahwa di daerah yang prasarana lalulintasnya belum cukup
baik, maka kerbau merupakan tenaga tarik yang cukup ampuh dengan kapasitas menarik muatan bisa mencapai 1,0-1,5 ton dengan
kecepatan tarik rata-rata 3,0 km/jam dan
daya tahan kerja pada tanah dengan banyak tanjakan tanpa batu dapat mencapai
empat jam.
Reproduksi Ternak Kerbau
Reproduksi merupakan suatu proses
biologik yang menyangkut semua aspek reproduksi atau perkembangbiakan hewan. Toelihere (1993a) menyatakan bahwa prestasi reproduksi
sangat penting dan perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan populasi ternak dan secara langsung akan
dipengaruhi oleh faktor genetik dan juga lingkungan, penyakit dan tata laksana.
Pubertas atau dewasa kelamin adalah suatu periode dalam kehidupan makluk
jantan atau betina dimana proses-proses reproduksi mulai terjadi yang ditandai
oleh kemampuan untuk pertama kalinya mendapatkan benih ( Anggorodi, 1979 dan
Partodiharjo,1992).
Angka Kelahiran
Angka kelahiran adalah jumlah anak yang lahir selama 1 tahun
di bagi dengan jumlah induk dewasa dalam 1 tahun yang sama, dinyatakan dalam
persen (Newman dan Snapp, 1969., Martojo et
al., 1978).
Metode untuk mengukur angka kelahiran banyak macamnya tetapi yang sering
digunakan ada metode utama yaitu:
1. Jumlah anak yang lahir dibandingkan dengan jumlah induk yang di kawinkan
2. Jumlah anak yang siap dipasarkan atau yang
telah diberi cap dibandingkan dengan jumlah induk yang dikawinkan
3. Jumlah anak yang mencapai umur sapih
dibandingkan dengan jumlah induk yang dikawinkan.
Selanjutnya
Newman dan Snapp (1969) menyatakan bahwa persentase angka kelahiran sering
bervariasi secara luas antar kelompok
yang berbeda dan dalam kelompok
yang sama dalam tahun berbeda
(Ensminger, 1969 dikutip Mila., 1993).
Namun
lazimnya ternak besar yang dipelihara dengan jalan digembalakan di padang
pengembalaan umur ideal dengan ternak kerbau saat dikawinkan pertama kali yaitu
2,5-3 tahun pada saat ternak mulai mencapai dewasa kelamin dan dewasa tubuh
dengan lama kebuntingan 310 hari (Sosroamidjojo, 1984). Hal ini dipertegas oleh
Bhanasari (1975) yang kutip Toelihere (1993a) menyatakan bahwa dengan
tatalaksana dan makanan yang baik untuk kerbau dapat melahirkan untuk 12 bulan
dan masa produksi 20 tahun.
Mila (1993) melaporkan bahwa pada ternak
kerbau lumpur di kecamatan Lewa menunjukkan angka kelahiran anak kerbau sebesar
30.09%. Hasil penelitian ini ternyata lebih tinggi dari angka kelahiran untuk
daerah NTT yakni 22.87% (Amadilaga, 1974) tetapi lebih rendah dibandingkan
hasil penelitian Nenot (1979) yakni
58.3%. Lebih lanjut Mila (1993) menjelaskan bahwa rendahnya angka kelahiran anak
di kecamatan Lewa disebabkan oleh tingginya orientasi peternak pada pemanfaatan
ternak kerbau dalam mengolah lahan pertanian, disamping itu ada hal-hal lain
seperti pemotongan ternak dalam urusan adat yang masih dominan.
Interval Kelahiran
Interval kelahiran adalah selang
waktu antara dua periode kelahiran secara berutan (Toelihere, 1993a). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa panjang pendeknya interval kelahiran sangat relatif dan
tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Di Indonesia menurut Robinson (1977) interval kelahiran kerbau
lumpur adalah 687 hari. Di Malaysia berkisar antara 373-700 hari rata-rata 532 hari. Di Thailand
berkisar antara 333-718 hari atau
rata-rata 503 hari (Bhannasari, 1975 yang dikutip Toelihere, 1993a).
Hovius
et al (1988) menyatakan bahwa interval kelahiran kerbau perah lebih pendek
dibandingkan dengan kerbau lumpur. Interval kelahiran kerbau perah di India dan
Bulgaria masing-masing 429,9 hari (Hadi, 1965; Ivanov dan Sochariev, 1960 yang
dikutip oleh Toelihere, 1993a).
Mila (1993) melaporkan interval
kelahiran pada ternak kerbau lumpur di kecamatan Lewa sama dengan hasil
penelitian Nenot (1979) yakni berkisar
antara 12 sampai 21 bulan. Adanya interval kelahiran yang cukup panjang
ini (21 bulan) disebabkan oleh kurangnya
campur tangan manusia (peternak) dalam
pengelolaannya, dalam hal ini anak yang lahir tetap dibiarkan bersama induknya
sampai saat terjadi dimana pemisahan anak dari induk dengan sendirinya. Selain
itu adanya naluri keindukan untuk mengasuh anaknya lebih lama dan terjadi
kegagalan kebuntingan. Disamping itu kemungkinan tidak tersedianya pejantan-pejantan
pemacek didalam kelompok ternak kerbau yang
selalu siap mengawani kerbau betina yang
sedang berahi.
Angka Kematian
Kegagalan reproduksi turut merugikan
peternak serta membahayakan kehidupan indiividu ternak, misalnya rendahnya
produksi dan langkahnya anak sebagai ternak bibit serta menghambat perkembangan
pemeliharan ternak yang direncanakan (Ginting, 1977). Lebih lanjut dikatakan
bahwa kegagalan reproduksi disebabkan kesalahan pemeliharan antara lain kegagalan mengenal tanda-tanda berahi
hingga tidak dikawinkan atau perkawinan tidak tepat waktu, terlalu cepat
dikawinkan pada umur mudah, terlalu cepat mengawinkan setelah melahirkan serta kurang cermat memeriksa kebuntingan.
Penyakit adalah penyebab kerugian
yang paling banyak pada ternak dan merupakan salah satu faktor pembatas yang
cukup berpengaruh terhadap perkembangan ternak di daerah tropik. Fahimuddin
(1975) yang dikutip Mila (1993) menyatakan
bahwa penyakit yang menyerang ternak terjadi akibat interaksi beberapa faktor seperti iklim dan kekurangan
pakan terutama di daerah beriklim tropis.
Hasil penelitian Mila (1993) pada ternak kerbau lumpur di kecamatan Lewa
menunjukkan angka kematian anak kerbau sebesar 33.21%, namun lebih tinggi jika
dibandingkan dengan angka kematian anak
kerbau di daratan Timor yakni 12.29% (Therik, 1977) dan di pulau Sabu sebesar
18.93% ( Nenot, 1979). Tingginya angka kematian anak kerbau di Kecematan Lewa
disebabkan oleh kekurangan pakan serta penyakit-penyakit seperti mulut dan kuku,
kutu dan kembung pada musim kemarau ( Mila,1993).
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Kecamatan Loli Kabupaten Sumba
Barat selama 2 bulan.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini digunankan metode survei untuk
memperoleh data primer dan data sekunder. Untuk memperoleh data primer
dilakukan melalui teknik wawancara langsung dengan responden berdasarkan daftar pertanyaan yang telah
disiapkan untuk peternak yang berdomisili di 14 (empat belas) desa di Kecamatan
Loli yang memiliki kriteria petani peternak yang memelihara minimal 10 (sepuluh) ekor ternak kerbau dan
mempuyai pengalaman beternak minimal 4
(empat) tahun. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait di
Kabupaten Sumba Barat dan Kecamatan Loli.
Teknik
survey
Dalam penelitian menggunakan teknik
survei yang meliputi:
1.
Mengumpulkan jawaban dari pertanyaan
standart untuk setiap responden peternak kerbau di masing-masing desa.
2.
Random sampling
3.
Analisis statistik dari representasi
jawaban survei
Metode Penentuan Sampel
Penentuan sampel akan dilakukan pada 14 ( empat belas ) desa dalam wilayah
Kecamatan Loli yaitu 60% dari
masing-masing desa, sedangkan dari instansi-instansi terkait yaitu 40%. Dasar
pertimbangannya bahwa desa tersebut memiliki populasi ternak kerbau yang
terbanyak. Sedangkan penentuan responden dilakukan secara acak dengan
mengambil 40% dari total peternak kerbau
pada masing-masing desa, contoh dengan dasar pertimbangan memiliki pengalaman
beternak ≥ 4 (empat) tahun dan jumlah
induk kerbau yang dimiliki ≥10 ekor.
Variable yang di ukur
Variable yang diukur dalam penelitian ini,
meliputi :
1. Angka kelahiran, yaitu perbandingan antara
jumlah anak yang lahir dengan jumlah induk yang produktif dengan kisaran umur
4-20 tahun dalam setahun dikalikan dengan 100%.
Angka kelahiran = Jumlah
anak yang lahir hidup X 100%
Jumlah
induk produktif
2. Angka kematian yaitu perbandingan jumlah anak
kerbau yang mati umur 0-1 tahun dengan jumlah anak kerbau yang lahir dikalikan
dengan 100% .
Angka
kematian = Jumlah anak kerbau yang mati X 100%
Jumlah anak kerbau yang lahir
3. Interval
kelahiran yaitu jarak waktu antara dua
periode kelahiran secara berurutan
pada kelahiran yang paling akhir.
4. Siklus
birahi yaitu jarak atau interval waktu
antara periode birahi pertama dengan periode birahi berikutnya.
Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini
ditabulasi dan dianalisis untuk menghitung nilai rata-rata (X),standar devisi
(SD), koefisien keragaman (KK) menurut petunjuk yang digariskan Sudjana (1989)
dengan rumus :
Nilai
Rata-Rata (X) = ∑Xi
n
Standar
Devisi =
Koefisien
Keragaman (KK) = SD X
100%
X
Dimana
:
X = Nilai Rataan ;
n = Besarnya Sampel Yang Digunakan;
n - 1 = Derajat Bebas;
∑xi = Jumlah Nilai Pengamatan
∑(Xi – X)2 = Jumlah Kuadrat Simpangan
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Keadaan
Umum Lokasi Pelitian
Kecamatan Loli
merupakan sala satu Kecamatan yang terdapat di wilayah Kabupaten Sumba Barat
dengan luas wilayah secara keseluruhan adalah 132,36
km2. Kecamatan Loli terdiri atas 9 desa dan 5 Kelurahan yaitu desa Dede Kadu, Wee Karou, Soba Wawi, Ubu Pede, Bera Dolu, Dokakaka,
Tana Rara, Bali Ledo, Loda Pare, Kelurahan Wee Dabbo, Dira Tana, Ubu Raya, Tema
Tana dan Manola. Batas-batas wilayah Kecamatan Loli: sebelah Utara berbatasan
dengan Kecamatan Tana Righu dan Kabupaten Sumba Tengah, sebelah Selatan
berbatasan dengan Kecamatan Wanokaka dan Kecamatan Lamboya, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sumba Barat
Daya dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumba Tengah (Kecamatan Loli
dalam Angka, 2012).
Secara
klimatologi, daerah Kecamatan Loli beriklim tropis yang ditandai dengan dua
musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Tingkat curah hujan mencapai 2.252
mm dengan 100 hari hujan (Kecamatan Loli dalam Angka,
2012).
Keadaan Umum Peternakan
Ternak
kerbau yang terdapat di lokasi penelitian merupakan jenis kerbau lumpur
(Bubalis bubalus). Populasi dan penyebaran ternak besar dalam wilayah Kecamatan
Loli sebagai tempat penelitian bervariasi untuk setiap desa atau kelurahan.
Peran Ternak Kerbau
Ternak kerbau memegang peranan yang
sangat penting bagi status sosial dan budaya masyarakat pedesaan Sumba pada
umumnya. Sejak dahulu, masyarakat berpendapat bahwa apabila seseorang memiliki
ternak kerbau maka dianggap sebagai orang yang memiliki harta banyak dan
berderajat tinggi. Sehingga ternak kerbau dimanfaatkan pada acara-acara
tertentu sebagai simbol kebesaran seperti acara perkawinan yang dikenal dengan
sebutan “belis atau maskawin”, yang dilaksanakan secara adat setempat.Dapat
dikatakan bahwa ternak kerbau merupakan hewan yang mempunyai nilai penting
dalam kehidupan masyarakat dari dulu hingga kini.
Peranan kerbau dalam kegiatan pertanian dapat dikaitkan dengan
perkembangan sistem pertaniannya. Sistem pertanian yang dikenal semula pada
masa prasejarah adalah pertanian lahan kering (perladangan), kemudian
dkembangkan sistem pertanian lahan basah (persawahan). Dengan demikian
diperkirakan kerbau telah dimanfaatkan untuk membantu kegiatan
pertaniannya.Kerbau merupakan hewan domestikasi yang sering dikaitkan dengan
kehidupan masyarakat bermata pencaharian di bidang pertanian.Kerbau digunakan
sebagai sarana transportasi (kendaraan),untuk membantu mengolah lahan pertanian,
dan kotorannya dapat dijadikan pupuk. Domestikasi kerbau dikaitkan dengan
kebutuhan hewan itu dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya
seperti tersebut di atas, juga dikonsumsi atau digunakan sebagai hewan kurban
pada upacara adat.
Tradisi pengolahan lahan tanpa menggunakan bajak diketahui
masih dilakukan hingga kini oleh sebagian masyarakat di Sumba pada umumnya,
yaitu dengan menggiring kerbau (sekitar 8 – 12 ekor) berkeliling pada lahan
sawah secara berulang-ulang.Banyaknya kerbau yang digunakan menggambarkan
banyaknya populasi kerbau yang diternakkan oleh satu keluarga inti di tempat
tersebut.Sekalipun tidak banyak lahan sawah yang diusahakan di Samosir tempat
komunitas subetnis Sumba misalnya, populasi kerbau sebagai hewan ternak juga
cukup banyak.Hal ini disebabkan banyaknya kebutuhan kerbau sebagai hewan kurban
yang menyertai upacara adat yang diselenggarakan masyarakatnya.
Bagi masyarakat yang masih hidup dengan tradisi megalitiknya
seperti Sumba,Toraja,Dayak Ngaju,dan Batak, kerbau merupakan hewan yang sering
dikorbankan pada upacara-upacara adatnya seperti upacara kematian (Marapu,
Rambu Polo’, Tiwah, Saur Matua dan Mangokal Holi), atau pembangunan rumah adat.
Pada umumnya banyaknya kerbau yang disembelih pada suatu upacara adat
menggambarkan kemampuan keluarga atau tingginya status sosial seseorang di
masyarakat. Kegiatan tersebut secara simbolis tergambar pada banyaknya tanduk
kerbau yang dipajang pada rumah adat.
Pada masyarakat Sumba dikenal upacara kematian seperti Patane
(penguburan), dan Marai (menggali tulang) untuk memindahkan tulang dari kubur
primer ke kubur sekunder. Sebagai rangkaian kegiatan upacara tersebut biasanya
dilaksanakan pesta syukuran adat yang disertai dengan pemotongan kerbau.
Kemudian setelah kerbau disembelih dagingnya dibagikan pada kerabat yang mengikuti
upacara tersebut.Kepemilikan kerbau menandakan prestise seseorang.
Semakin kaya dan tinggi status seseorang ditandai seberapa banyak kepemilikan
kerbaunya.Dalam adat daerah tertentu, kerbau digunakan untuk alat meminang
seorang remaja putri.
Fungsi Ternak Kerbau
- Sebagai
penghasil tenaga kerja untuk mengolah sawah.
Kerbau dipelihara oleh masyarakat Sumba secara turun
temurun. Pada masyarakat pulau Sumba, ternak kerbau digunakan sebagai hewan
yang digunakan tenaganya untuk mengolah sawah sejak dulu kala. Sebelum ada traktor, kerbau memiliki fungsi amat besar
dalam produksi padi. Meskipun ada mekanisasi pertanian menggunakan
traktor, penggunaan kerbau masih diperlukan untuk sawah.
- Sebagai
ternak yang bisa menghasilkan pupuk.
Kotoran kerbau dapat digunakan sebagai pupuk atau bahan
bakar jika dikeringkan.
- Sebagai
tabungan jangka panjang.
Di Sumba pada umumnya, kerbau digunakan
untuk alat menabung. Petani menyimpan uangnya dengan membeli kerbau, lalu
menjual kerbaunya jika sedang membutuhkan uangnya
Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Populasi dan Penyebaran Ternak
Besar dalam Wilayah Kecamatan Loli Kabupaten Sumba Barat
Desa/
Kelurahan
|
Kuda
|
Sapi
|
Kerbau
|
Dede Kadu
|
54
|
1
|
253
|
Wee Karou
|
38
|
-
|
324
|
Soba Wawi
|
42
|
2
|
318
|
Ubu Pede
|
51
|
1
|
268
|
Bera Dolu
|
34
|
2
|
193
|
Dokakaka
|
12
|
9
|
196
|
Tana Rara
|
9
|
1
|
112
|
Bali Ledo
|
23
|
19
|
148
|
Loda Pare
|
20
|
5
|
187
|
Wee Dabbo
|
43
|
3
|
256
|
Dira Tana
|
55
|
8
|
337
|
Ubu Raya
|
41
|
4
|
268
|
Tema Tana
|
6
|
-
|
36
|
Manola
|
-
|
-
|
-
|
LOLI
|
428
|
55
|
2.896
|
2010
2009
2008
2007
|
610
845
893
860
|
185
356
352
343
|
2.036
2.640
2.598
2.502
|
Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten
Sumba Barat, 2012
Berdasarkan
Tabel 1 di atas terlihat bahwa ternak kerbau merupakan ternak ruminansia besar
terbanyak yang dipelihara oleh peternak di Kecamatan Loli Kabupaten Sumba
Barat. Dari total populasi ternak kerbau
yang ada pada tahun 2011 di atas, populasi terbanyak terdapat desa Dira Tana
yaitu 337 ekor dan terendah di desa Tema Tana yaitu 36 ekor. Penyebaran
populasi ini sangat bergantung pada iklim dan ketersediaan padang penggembalaan
serta kemampuan ternak untuk beradptasi dengan lingkungan.
Dari
Tabel 1 tersebut juga dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan populasi ternak
kerbau dari tahun 2010 ke tahun 2011 yaitu dari jumlah 2.036 ekor menjadi 2.896
ekor atau bertambah sebanyak 860 ekor (17,42%).
Identitas
Responden
·
Umur Responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran umur responden adalah 38-68
tahun dengan rata-rata 53,96 ±7,30 tahun. Dari kisaran umur ini 24 responden
(96%) termasuk usia produktif yaitu 8-65 tahun sedangkan 1 responden (4%)
termasuk usia non produktif yaitu 68 tahun. Menurut Hernanto (1996) usia petani
produktif berkisar antara 15-65 tahun dan usia di atas 65 sudah tidak produktif
lagi.
·
Tingkat Pendidikan
Pendidikan petani peternak di lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel
2. Tingkat Pendidikan Formal petani peternak di Kecamatan Loli Kabupaten Sumba
Barat
Tingkatan
Pendidikan
|
Jumlah
(orang)
|
Persentase
(%)
|
Tidak Sekolah
|
0
|
0
|
SD
|
6
|
24
|
SMP
|
3
|
12
|
SMA
|
15
|
60
|
PT
|
1
|
4
|
Jumlah
|
25
|
100
|
Sumber: Data Primer, 2013
Dari
Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa persentase peternak berpendidikan setara SMA adalah yang tertinggi sedangkan yang
berpendidikan PT atau Akademi adalah terendah. Berdasarkan gambaran ini maka
dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan formal responden di daerah
penelitian cukup tinggi. Menurut Hernanto (1996) pendidikan berkaitan dengan
pembentukan kerangka berpikir seseorang dalam menerima dan memahami cara-cara
baru dalam satu usaha peternakan.
·
Mata Pencaharian Pokok
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat variasi mata pencaharian pokok dari
responden di daerah penelitian yaitu petani 12 orang (48%), wiraswasta 5 orang
(20%) dan PNS 8 orang (32%). Ini memberikan gambaran bahwa mata percaharian
pokok di Kecamatan Loli Kabupaten Sumba Barat masih didominasi oleh petani
yaitu sebesar 48%.
·
Pengalaman Usaha
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran
pengalaman memelihara ternak kerbau oleh responden di daerah penelitian adalah
12-40 tahun dengan rata-rata 21,52±6,42 tahun.
Mubyarto (1994) menyatakan bahwa pengalaman usaha dapat mempengaruhi
seseorang dalam menjalankan usaha dan secara tidak langsung mempengaruhi hasil
yang diperolehnya. Pengalaman usaha sangat berperan dalam hal memilih dan
menentukan hal-hal apa saja yang perlu diterapkan dalam menjalankan suatu usaha
sehingga dapat memberikan keuntungan yang maksimal.
Manajemen
Usaha
·
Sistem pemeliharaan
Pola
beternak kerbau di Kecamatan Loli Kabupaten Sumba Barat adalah pola
pemeliharaan secara tradisional. Ternak kerbau digembalakan di padang pada pagi
sampai sore hari kemudian pada malam hari ternak kerbau dimasukkan dalam
kandang koloni atau kelompok.
·
Cara pemberian pakan dan air minum
Cara pemberian pakan pada ternak kerbau di daerah
penelitian dilakukan dengan menggembalakan ternak kerbau di padang rumput
maupun ladang yang telah diberokan. Dengan demikian pakan yang diberikan pada
ternak kerbau adalah rumput lapangan yang diperoleh sendiri oleh ternak saat
merumput. Sedangkan hijauan ataupun golongan leguminosa berupa lamtoro, daun
pisang dan daun jagung kadang-kadang diberikan dan sistem pemberiannya
dilakukan dengan memotong atau memangkas bagian tanaman tersebut pada saat
ternak kerbau digembalakan. Air minum diberikan pada ternak kerbau dengan
menggiring ternak ke sungai dan rawa.
·
Tenaga kerja
Berdasarkan hasil penelitian, tenaga kerja yang
digunakan dalam memelihara ternak kerbau di daerah penelitian semuanya adalah
tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga. Rata-rata tenaga kerja
menghabiskan waktu 6 jam dalam menggembalakan ternak kerbau di padang
penggembalaan dengan kisaran 4-8 jam, sangat tergantung pada dekat atau jauhnya
lokasi penggembalaan.
Angka
Kelahiran
Terdapat berbagai jenis
faktor yang mempengaruhi persentase kalahiran anak kerbau. Toelihere (1979)
dalam Kosi (2002) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kelahiran anak kerbau adalah 1) Tingkat fertilitas induk dan pejantan; 2)
Pengaturan teknik perkawinan; dan 3) Ketersediaan pakan . Faktor-faktor ini
belum mendapatkan perhatian yang serius dari para peternak di daerah
penelitian, sehingga angka kelahiran anak kerbau masih tergolong rendah yaitu
sebesar 48,50%. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel
3. Rata-rata Angka Kelahiran Anak Kerbau di Kecamatan Loli Kabupaten Sumba
Barat Tahun 2010 sampai 2012.
Tahun
|
Jumlah Induk yang
Produktif (ekor)
|
Jumlah Anak Yang Lahir
(ekor)
|
Persentase Kelahiran (%)
|
2010
|
330
|
162
|
49, 09
|
2011
|
320
|
154
|
48,13
|
2012
|
323
|
156
|
48,3
|
Total
|
973
|
472
|
145,52
|
Rerata
|
324,33
|
157,33
|
48,50
|
Sumber:
Data Primer, 2013
Berdasarkan
Tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa rata-rata angka kelahiran anak kerbau di Kecamatan
Loli Kabupaten Sumba Barat tahun 2010 sampai 2012 adalah 48,50%. Hasil penelitian ini ternyata memiliki
persentase kelahiran ternak kerbau yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
penelitian Kosi (2002) di Kecamatan Katikutana Kabupaten Sumba Barat yaitu 39,85%.
Angka kelahiran anak kerbau di Kecamatan Loli Kabupaten Sumba Barat ini
masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan karena sebagai besar peternak lebih
beroreantasi pemanfaatan ternak kerbau sebagai tenaga kerja di lahan pertanian
serta sistem pemeliharaan ternak kerbau yang terjadi secara ektensif
tradisional dimana manajemen pakan, manajemen kesehatan, manajemen perkandangan
dan manajemen perkawinan masih belum optimal dalam artian tidak ada perhatian
dan campur tangan peternak secara khusus.
Dari
Tabel 3 di atas juga dapat diketahui bahwa jumlah induk produktif yang dimiliki
oleh responden sebanyak 973 ekor dengan rata-rata 324,33 ekor namun dalam tiga tahun terakhir yaitu 2010,
2011 dan 2013 induk yang beranak hanya 472 ekor dengan rata-rata 157,33 ekor. Oleh karena itu, masih terdapat 501
ekor ternak kerbau yang belum beranak sehingga dibutuhkan suatu upaya dan
perhatian yang serius agar induk yang dimiliki oleh responden dapat bunting dan
beranak melalui penerapan teknologi. Dengan demikian dapat meningkatkan angka
kelahiran ternak kerbau di lokasi penelitian.
Angka Kematian
Menurut
Ginting (1977) yang dikutip oleh Kosi (2002) menyatakan bahwa kegagalan
reproduksi turut merugikan peternak serta membahayakan kehidupan individu
ternak, misalnya rendahnya reproduksi dan langkanya anak sebagai ternak bibit
serta menghambat pemeliharaan ternak yang direncanakan. Tingkat kematian
merupakan salah satu indikator perfomans atau tampilan reproduksi ternak.
Apabila ternak memiliki tingkat kematian yang tinggi maka perfomans reproduksi
ternak tersebut menjadi rendah atau tidak baik. Sebaliknya apabila ternak
dengan persentase atau tingkat kematian yang rendah maka perfomans reproduksi
ternak tersebut baik. Angka kematian anak kerbau di Kecamatan Loli Kabupaten
Sumba Barat tahun 2010 sampai 2012 dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel
4. Angka Kematian Anak Kerbau di Kecamatan Loli Kabupaten Sumba Barat Tahun
2010 sampai 2012.
Tahun
|
Jumlah Anak Yang Lahir
(ekor)
|
Jumlah Anak Yang Mati
(ekor)
|
Persentase Kematian (%)
|
2010
|
162
|
23
|
14,19
|
2011
|
154
|
21
|
13,64
|
2012
|
156
|
16
|
10,26
|
Total
|
472
|
60
|
38,09
|
Rerata
|
157,33
|
20
|
12,70
|
Sumber:
Data Primer, 2013
Berdasarkan
Tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat kematian anak kerbau di Kecamatan
Loli Kabupaten Sumba Barat tahun 2010 sampai 2012 berkisar antara 10,26% -
14,19% dengan rata-rata sebesar 12,70%. Persentase kematian anak kerbau di
daerah penelitian ini masing tergolong tinggi. Namun kematian anak kerbau di
daerah penelitian ini masing lebih rendah apabila dibandingkan dengan hasil penelitian
Kosi tahun 2002 dengan persentase kematian anak kerbau di Kecamatan Katikutana
Kabupaten Sumba Barat yang mencapai 29,65%. Adanya perbedaan angka atau
persentase kematian anak kerbau ini disebabkan karena penyebaran ternak di
setiap Kecamatan berbeda dan sangat berhubungan erat dengan ketersediaan lahan
sebagai area padang penggembalaan dan iklim yang berbeda serta daya adaptasi
anak ternak kerbau terhadap iklim wilayah bersangkutan.
Menurut
Tafal yang dikutip oleh Fattah (1998) menyatakan bahwa angka kematian yang
ideal untuk ternak besar seperti kerbau dan sapi adalah ≤ 5%. Tingginya
persentase atau angka kematian anak
kerbau di lokasi penelitian terutama disebabkan oleh penyakit. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa jenis penyakit yang mendominasi adalah penyakit Surra terutama pada tahun 2010 dan 2011
persentase kematian tertinggi terjadi. Fenomena ini sesuai dengan hasil
penelitian Suda (2013) di Kecamatan Wewewa Selatan Kabupaten Sumba Barat Daya
yang menyatakan bahwa penyakit Surra
(Tripanosomiasis) merupakan penyakit
yang paling umum menyerang ternak kerbau dengan gejala ternak kerbau berputar,
laju pulsus meningkat, diare, badan menjadi kurus dan mati secara tiba-tiba.
Lebih
lanjut dijelaskan oleh Suda (2013) bahwa penanganan kesehatan ternak kerbau
sangat penting untuk diperhatikan dapat dilakukan dalam dua tindakan pengendalian yaitu
pencegahan (preventive) dan
pengobatan (curative). Tindakan
pencegahan (preventive) dapat
dilakukan dengan vaksinasi terhadap anak kerbau
untuk mencegah penyakit. Sedangkan tindakan pengobatan (curative) dapat dilakukan dengan
mengobati anak kerbau yang sakit sesuai dengan gejala yang muncul.
Penyakit
merupakan penyebab kerugian yang paling banyak pada ternak dan merupakan salah
satu faktor pembatas yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan ternak di
daerah tropik. Menurut Fahimuddin (1975) yang dikutip oleh Kosi (2002)
menyatakan bahwa penyakit yang menyerang ternak terjadi akibat interaksi antara
beberapa faktor seperti iklim dan kekurangan pakan terutama terjadi di daerah
beriklim tropis.
Interval
Kelahiran
Interval kelahiran
diketahui dengan cara menghitung jarak waktu antara dua kelahiran yang
berurutan yaitu antara waktu beranak terakhir
dan waktu beranak sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran
interval kelahiran adalah 10,38 - 22,16 bulan dengan rata-rata 17,95
bulan dan koefisien variasi sebesar 15,37 %. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel
5. Rata-Rata Interval Kelahiran Ternak Kerbau Lumpur di Kecamatan Loli
Kabupaten Sumba Barat Tahun 2010-2012.
Rata-Rata Interval Kelahiran
(bulan)
|
Koefisien
Variasi
|
17,95 ± 2,76
|
15,
37
|
Sumber: Data Primer, 2013
Berdasarkan Tabel 5 di atas terlihat bahwa rata-rata interval
kelahiran ternak kerbau lumpur di
Kecamatan Loli Kabupaten Sumba Barat Tahun dari tahun 2010 sampai 2012 adalah 17,95 ± 2,76 bulan dengan variasi
sebesar 15,37 %. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Kosi
(2002) di Kecamatan Katikutana Kabupaten Sumba Barat dimana rata-rata interval
kelahiran ternak kerbau sebesar 18,42 ± 1,99 bulan dengan variasi 10,80%. Interval kelahiran
merupakan salah satu indikator produktivitas seekor ternak. Sosroamidjojo
(1984) menyatakan bahwa seekor induk kerbau dikatakan baik jika dapat beranak
kembali setiap 15 bulan. Interval
kelahiran ternak kerbau yang cukup panjang dalam penelitian ini disinyalir
karena sistem pemeliharan yang terjadi secara tradisional dan tidak adanya
campur tangan manusia dalam mengatur perkawinan sehingga sistem perkawinan yang
terjadi adalah secara alamiah (nature mating). Menurut Suda (2013),
dalam hasil penelitiannya di Kabupaten Sumba Barat Daya menyatakan bahwa ternak
kerbau dengan sistem pemeliharaan ektensif tradisional dimana ternak kerbau
digembalakan di padang penggembalaan pada pagi sampai sore hari dan pada malam
hari dimasukkan dalam kandang kelompok akan menyebabkan terjadinya sistem
perkawinan secara alamiah atau nature
mating.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas
maka dapat disimpulkan bahwa perfomans reproduksi ternak kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) di Kecamatan Loli
Kabupaten Sumba Barat masih tergolong rendah karena memiliki angka kelahiran
rendah yaitu 48,50%; angka kematian yang masih tergolong tinggi yaitu sebesar
12,70% serta interval kelahiran yang relatif masih panjang yaitu berkisar antara
10,38 - 22,16 bulan dengan rerata 17,95 bulan.
Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas maka
disarankan agar peternak lebih beroreantasi pada perbaikan perfomans reproduksi
ternak kerbau Lumpur (Bubalus bubalis)
di Kecamatan Loli Kabupaten Sumba Barat melalaui manajemen pemeliharaan yang
harus lebih mendapat perhatian serius.
DAFTAR PUSTAKA
Admadilaga, D. 1974.Proses Perkembangan Peternakan Di Nusa Tenggara Timur.Biro Reseach dan
afiliasi.Fakultas Peternakan ,Universitas Pandjajaran- Bnadung.
Anggorodi, R. 1979.Makanan Ternak Umum,Gramedia Jakarta.
Anonimous, 1977. The Wate Buffalo .Foot And Agriculture
Organization Of The United Nation,Room.
Burhanudin, 1981.Peranan Sapi Bali Dalam Pengembanganpeternakan Sapi Bali di Indonesia Ditinjau Dari Segi
Reproduksinya.Majalah Universitas Nomor : 24-25 tahun IX,1981.
Dawa,
A. 1987.Performans Produksi Dan
Reproduksi Ternak Kerbau Lumpur Di Kecamatan Kodi Kabupaten Sumba Barat
.Skripsi.Fakultas Universitas Nusa Cendana ,Kupang
Fattah,
S. 1998. Produktivitas Sapi Bali Yang Di Pelihara Di Padang Pengembalaan
Alam,(Kasus Oesu’u Nusatenggara
Timur).Di sertai Universitas padjajaran Bandung.
Hernanto, F.
1996. Ilmu Usaha Tani, Bagian Agribisnis dan Koperasi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kosi, A. Z. T. 2002. Perfomans Reproduksi Ternak
Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) di Kecamatan Katikutana Kabupaten Sumba Barat.
Skripsi Fapet Undana. Kupang.
Lubis, D.A.1963.Ilmu Makanan Ternak,P.T.Pembangunan Jakarta.
Martojo,
H.S.Mansjoer dan E.Gunardi 1978.Beberapa
sifat reproduksi pada sapi bali di propinsi bali
Proc.Seminar Ruminansia .Direktorat jendral peternakan & P-4 dan
fakultas IPB,Bogor.
Mubyarto.
1994. Pengantar Ekonomi Pertanian.
LP3ES. Jakarta.
Murti,
T.W dan Ciptadi.G. 1987.Kerbau perah dan kerbau kerja.P.T.Mediyatama
Sarana Perkasa,Jakarta.
Nenot,
E.A.N. 1979 .Penagruh kesempatan
berkubang terhadap berahi dan siklus berahi pada kerbau lumpur .Thesis fapet undana yang
berafiliasi denngan fapet ITB bogor.
NTT dalam Angka. 2011/2012. Dinas Peternakan Kabupaten
Sumba Barat
Partodiharjo,S. 1982.Ilmu reproduksi hewan,Mutiara Bandung.
Siregar, A.M. 1971.Kerbau dan perkembangannya di Indonesia.
Sosroamidjojo, S.M. 1989.Ternak potong dan kerja.CV Yasaguna Jakarta.
. 1984. Ternak Potong dan Kerja. CV Yasaguna. Jakarta.
Suda, T. G. Nd. 2013. Analisis Pendapatan dan Kelayakan Usaha Ternak Kerbau di Kecamatan
Wewewa Selatan Kabupaten Sumba Barat Daya. Skripsi Fapet Undana. Kupang.
Sobang,
Y.U.L. 2010. Strategi Pengembangan Ternak
Kerbau Berbasis Sumber Daya Lokal Di Nusa Tenggara Timur.Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana.
Kupang
Therik,
J.F. 1977.Kemampuan Perkembangbiakan
Kerbau Dikabupaten Kupang Darat Timor.Thesis Fapet Undana,Kupang
Tolihere,
M.R. 1979. Peternakan Kerbau Dan
Produksinya DiIndonesia. Dalam
Media veteriner.vol 1 no. 1 Maret 1979 Fakultas Kedokteran Veteriner Institute
Pertanian Bogor,boogor.
Lampiran
1. Tingkat Kelahiran Anak Kerbau di Kecamatan Loli Kabupaten Sumba Barat Tahun
2010 sampai 2012.
No Responden
|
Tahun 2010
|
Tahun 2011
|
Tahun 2012
|
|
|
Induk Produktif (Ekor) (X)
|
Anak yang
Lahir
(Ekor) (Y)
|
Induk Produktif (Ekor) (X)
|
Anak yang Lahir
(Ekor) (Y)
|
Induk Produktif (Ekor) (X)
|
Anak yang Lahir
(Ekor) (Y)
|
|
1
|
13
|
6
|
14
|
4
|
14
|
7
|
|
2
|
10
|
6
|
10
|
6
|
10
|
5
|
|
3
|
20
|
11
|
13
|
6
|
17
|
8
|
|
4
|
20
|
8
|
20
|
10
|
18
|
9
|
|
5
|
17
|
8
|
13
|
5
|
16
|
7
|
|
6
|
16
|
6
|
14
|
7
|
19
|
9
|
|
7
|
12
|
5
|
12
|
6
|
5
|
5
|
|
8
|
15
|
8
|
16
|
7
|
20
|
8
|
|
9
|
10
|
4
|
11
|
5
|
8
|
6
|
|
10
|
14
|
8
|
12
|
5
|
13
|
5
|
|
11
|
10
|
5
|
10
|
5
|
11
|
4
|
|
12
|
13
|
7
|
14
|
7
|
13
|
6
|
|
13
|
15
|
8
|
15
|
8
|
15
|
7
|
|
14
|
14
|
6
|
14
|
8
|
13
|
6
|
|
15
|
16
|
9
|
15
|
7
|
15
|
6
|
|
16
|
13
|
7
|
14
|
7
|
12
|
7
|
|
17
|
12
|
8
|
11
|
5
|
10
|
6
|
|
18
|
11
|
6
|
13
|
9
|
13
|
6
|
|
19
|
11
|
5
|
11
|
6
|
14
|
7
|
|
20
|
11
|
4
|
10
|
6
|
11
|
5
|
|
21
|
10
|
5
|
11
|
4
|
10
|
6
|
|
22
|
12
|
6
|
11
|
6
|
11
|
5
|
|
23
|
11
|
5
|
12
|
5
|
11
|
5
|
|
24
|
14
|
6
|
13
|
6
|
12
|
5
|
|
25
|
10
|
5
|
11
|
4
|
12
|
6
|
|
Total
|
330
|
162
|
320
|
154
|
323
|
156
|
|
Rerata
|
13,2
|
6,48
|
12,8
|
6,16
|
12,92
|
6,24
|
|
STDEV
|
2,93
|
1,69
|
2,27
|
1,52
|
3,41
|
1,30
|
|
KV
|
0,22
|
0,26
|
0,18
|
0,25
|
0,26
|
0,21
|
|
ANGKA KELAHIRAN UNTUK TAHUN 2010
Jumlah anak yang lahir (Y) : 162 Ekor
Jumlah induk produktif (X) : 330 Ekor
Angka Kelahiran
x 100 %
= 49,
09%
ANGKA KELAHIRAN UNTUK TAHUN 2011
Jumlah anak yang lahir (Y) : 154 Ekor
Jumlah induk produktif (X) : 320 Ekor
Angka Kelahiran
x 100 %
= 48,13%
ANGKA KELAHIRAN UNTUK TAHUN 2012
Jumlah anak yang lahir (Y) : 156 Ekor
Jumlah induk produktif (X) : 323 Ekor
Angka Kelahiran
x 100 %
= 48,30%
Sehingga rerata angka kelahiran ternak
kerbau untuk tiga tahun terakhir adalah 48,50%
Lampiran
2. Tingkat Kematian Anak Kerbau di Kecamatan Loli Kabupaten Sumba Barat Tahun
2010 sampai 2012.
No Responden
|
Tahun 2010
|
Tahun 2011
|
Tahun 2012
|
|
|
Anak yang Lahir
(Ekor) (X)
|
Anak yang Mati
(Ekor) (Y)
|
Anak yang Lahir
(Ekor) (X)
|
Anak yang Mati
(Ekor) (Y)
|
Anak yang Lahir
(Ekor) (X)
|
Anak yang Mati
(Ekor) (Y)
|
|
1
|
6
|
1
|
4
|
2
|
7
|
0
|
|
2
|
6
|
1
|
6
|
1
|
5
|
1
|
|
3
|
11
|
2
|
6
|
0
|
8
|
0
|
|
4
|
8
|
2
|
10
|
3
|
9
|
1
|
|
5
|
8
|
1
|
5
|
1
|
7
|
2
|
|
6
|
6
|
2
|
7
|
2
|
9
|
2
|
|
7
|
5
|
1
|
6
|
1
|
5
|
0
|
|
8
|
8
|
2
|
7
|
1
|
8
|
0
|
|
9
|
4
|
2
|
5
|
1
|
6
|
0
|
|
10
|
8
|
0
|
5
|
0
|
5
|
0
|
|
11
|
5
|
0
|
5
|
0
|
4
|
0
|
|
12
|
7
|
2
|
7
|
2
|
6
|
1
|
|
13
|
8
|
1
|
8
|
2
|
7
|
0
|
|
14
|
6
|
1
|
8
|
1
|
6
|
2
|
|
15
|
9
|
0
|
7
|
1
|
6
|
0
|
|
16
|
7
|
1
|
7
|
0
|
7
|
0
|
|
17
|
8
|
0
|
5
|
1
|
6
|
1
|
|
18
|
6
|
0
|
9
|
0
|
6
|
0
|
|
19
|
5
|
1
|
6
|
0
|
7
|
0
|
|
20
|
4
|
0
|
6
|
1
|
5
|
1
|
|
21
|
5
|
0
|
4
|
0
|
6
|
2
|
|
22
|
6
|
0
|
6
|
0
|
5
|
0
|
|
23
|
5
|
0
|
5
|
1
|
5
|
1
|
|
24
|
6
|
2
|
6
|
0
|
5
|
1
|
|
25
|
5
|
1
|
4
|
0
|
6
|
1
|
|
Total
|
162
|
23
|
154
|
21
|
156
|
16
|
|
Rerata
|
6,48
|
0,92
|
6,16
|
0,84
|
6,24
|
0,64
|
|
STDEV
|
1,69
|
0,81
|
1,52
|
0,85
|
1,30
|
0,76
|
|
KV
|
0,26
|
0,88
|
0,25
|
1,01
|
0,21
|
1,18
|
|
ANGKA
KEMATIAN UNTUK TAHUN 2010
Jumlah
anak yang lahir (X) : 162 Ekor
Jumlah
anak yang mati (Y) :
23 Ekor
Angka
Kematian
x 100 %
= 14,20%
ANGKA
KEMATIAN UNTUK TAHUN 2011
Jumlah
anak yang lahir (X) : 154 Ekor
Jumlah
anak yang mati (Y) : 21
Ekor
Angka
Kematian
x 100 %
= 13,64%
ANGKA
KEMATIAN UNTUK TAHUN 2012
Jumlah
anak yang lahir (X) : 156 Ekor
Jumlah
anak yang mati (Y) :
16 Ekor
Angka
Kematian
x 100 %
= 10,26%
Sehingga rerata angka kelahiran ternak
kerbau untuk tiga tahun terakhir adalah 12,70%
Lampiran
3. Rata-Rata Interval Kelahiran Ternak Kerbau Lumpur Di Kecamtan Loli Kabupaten
Sumba Barat Tahun 2010-2012.
No. Responden
|
Rata-Rata Interval Kelahiran (Bulan)
(Xi)
|
Xi-X
|
(Xi-X)2
|
|
|
|
1
|
17,22
|
-0,73
|
0,53
|
2
|
14,01
|
-3,94
|
15,52
|
3
|
22,16
|
4,21
|
17,72
|
4
|
18,12
|
0,17
|
0,03
|
5
|
18,5
|
0,55
|
0,30
|
6
|
16,9
|
-1,05
|
1,10
|
7
|
18,16
|
0,21
|
0,04
|
8
|
19,77
|
1,82
|
3,31
|
9
|
18,4
|
0,45
|
0,20
|
10
|
18,8
|
0,85
|
0,72
|
11
|
19,04
|
1,09
|
1,19
|
12
|
18,71
|
0,76
|
0,58
|
13
|
10,46
|
-7,49
|
56,10
|
14
|
10,38
|
-7,57
|
57,30
|
15
|
17,78
|
-0,17
|
0,03
|
16
|
19,14
|
1,19
|
1,42
|
17
|
16,05
|
-1,90
|
3,61
|
18
|
19,16
|
1,21
|
1,46
|
19
|
18,17
|
0,22
|
0,05
|
20
|
20,2
|
2,25
|
5,06
|
21
|
18,43
|
0,48
|
0,23
|
22
|
20,43
|
2,48
|
6,15
|
23
|
18,83
|
0,88
|
0,77
|
24
|
20,6
|
2,65
|
7,02
|
25
|
19,33
|
1,38
|
1,90
|
Total
|
448,75
|
-7E-14
|
182,38
|
Rerata
|
17,95
|
3E+00
|
7,30
|
STDEV
|
2,76
|
2,76
|
15,55
|
KV
|
0,15
|
1E+00
|
2,13
|
Nilai Rata-Rata
(X) = ∑Xi
N
= 448,75/25
= 17,95
Standar
Deviasi =
= 2,76
Koefisien Variasi (KK) =
SD X 100%
X
= 2,76 X 100%
17,95
=15, 37 %
Sehingga,
interval kelahiran ternak kerbau (induk produktif) di Kecamatan Loli Kabupaten
Sumba Barat tahun 2010 sampai 2012
adalah 17,95 ± 2,76 bulan.